TfO0TSd7GpM9TSM9TpOiTpA8Gd==

Kenaikan PPN 12 Persen pada 2025 Diprediksi Akan Tekan Daya Beli Masyarakat

Kenaikan PPN 12 Persen pada 2025 Diprediksi Akan Tekan Daya Beli Masyarakat
Ilustrasi - Pegawai membersihkan barang-barang elektronik yang di pajang di sebuah toko elektronik di Jakarta, Selasa (25/6/2024). (Dok. ANTARA)

TAJAM.NET - Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang direncanakan berlaku pada 1 Januari 2025 menimbulkan kekhawatiran terhadap dampaknya pada daya beli masyarakat.

Pengamat ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, menyatakan bahwa kebijakan ini kemungkinan akan memengaruhi kemampuan masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah, dalam memenuhi kebutuhan.

Ronny menjelaskan bahwa perusahaan penyedia barang dan jasa cenderung tidak ingin menanggung beban kenaikan PPN. Hal ini biasanya diatasi dengan menaikkan harga produk atau layanan mereka, yang pada akhirnya membebani konsumen.

"Karena perusahaan penyedia barang jasa, biasanya tidak mau menanggung PPN, sehingga jalan biasanya yang mereka ambil adalah mengalihkan beban kenaikan PPN ini ke konsumen dengan cara menaikkan harga," ujar Ronny saat dihubungi dari Jakarta, Selasa.

Ia juga menyoroti bahwa kenaikan PPN akan berdampak pada penjualan sejumlah barang, termasuk barang elektronik, fesyen, hingga otomotif. Bahkan, barang-barang yang dikonsumsi rutin oleh masyarakat tidak akan luput dari dampak tersebut.

Seiring dengan rencana kenaikan PPN, Ronny berharap pemerintah dapat menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) pada 2025 dengan mempertimbangkan tingkat inflasi. Menurutnya, jika harga barang dan jasa meningkat tanpa diimbangi dengan kenaikan pendapatan, hal ini akan memperburuk daya beli masyarakat dan memengaruhi tingkat permintaan barang dan jasa di pasar.

"Kenaikan (PPN menjadi 12 persen) yang sedikit ini akan menambah tekanan daya beli kepada kelas menengah dan kelas menengah ke bawah yang memang pendapatannya sangat sangat tertekan dalam dua tahun terakhir sejak pasca pandemi," tambah Ronny.

Rencana kenaikan PPN ini merupakan bagian dari kebijakan yang diamanatkan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), yang disahkan pada 2021. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa kebijakan tersebut telah dirancang dengan mempertimbangkan kondisi kesehatan masyarakat dan kebutuhan pokok yang terdampak pandemi COVID-19.

"Artinya, ketika kami membuat kebijakan mengenai perpajakan, termasuk PPN ini, bukannya dilakukan dengan membabi buta dan seolah tidak punya afirmasi atau perhatian terhadap sektor lain, seperti kesehatan dan bahkan waktu itu termasuk makanan pokok," ujar Sri Mulyani.

Kenaikan PPN menjadi 12 persen ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan negara, tetapi tantangan dalam pelaksanaannya adalah memastikan dampaknya terhadap daya beli masyarakat dapat diminimalkan. Pemerintah diharapkan dapat menjaga keseimbangan antara penerimaan negara dan kebutuhan ekonomi masyarakat agar kebijakan ini tidak menimbulkan beban yang berlebihan.

***
Dapatkan informasi berita Indonesia terkini viral terbaru 2025, trending dan terpopuler hari ini dari media online TAJAM.net melalui platform Google News.

Ketik kata kunci lalu Enter